Barasuaratimur.com- “Kalau tambang emas ini benar-benar jalan, maka sebagian Sinjai akan hilang. Yang paling terpukul adalah perempuan,” suara Marlin bergetar saat berbicara dalam Dialog Publik Reforma Agraria yang digelar Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Sulsel di Hotel Swissbel Panakkukang, 25 Juli 2025.
Marlin bukan aktivis organisasi mana pun. Ia seorang pria dan warga biasa dari Kabupaten Sinjai yang datang jauh-jauh ke Makassar membawa satu keresahan besar tambang emas yang diam-diam menggerogoti kampung halamannya.
“Kami petani. Warga dan perempuan-perempuan di desa kami, hidupnya tergantung dari tanah,” ujarnya.
Konflik lahan di Sinjai memang sudah berlangsung lebih dari 30 tahun. Tapi menurut Marlin, ada dua hal yang kini menjadi akar persoalan besar: kehutanan dan tambang.
“Yang paling berat sekarang adalah tambang emas,” tegasnya.
Tambang tersebut dikelola oleh PT Trinusa Resort, dengan luas konsesi mencapai 11.236 hektar.
“Izin ini terbit di 2013, tapi baru tahun 2025 ini ketahuan masyarakat. Karena memang tempat pengerukan akan dilakukan di puncak paling tinggi di Kabupaten Sinjai,” kata Marlin.
Lokasinya berada di hulu semua aliran sungai yang menyatu di Sungai Tangka, sumber utama kehidupan warga. Jika kawasan itu rusak, air akan turun menghancurkan permukiman.
“Sinjai bisa hilang setengah. Terendam banjir,” ujar Marlin.
Perempuan adalah yang paling terancam. Sebab sebagian besar dari mereka bekerja di sektor perkebunan. Mereka selama ini mengolah cengkeh, coklat, dan kopi.
“Kalau tanah itu dikeruk, perempuan di desa kami akan kehilangan fungsi sosial dan ekonominya. Mereka tak bisa apa-apa. Dan teror kampung hilang senantiasa membayangi,” ujar Marlin.
Ia mengisahkan bahwa selama ini, perempuan di desanya bukan hanya bekerja, tapi juga memegang peran penting dalam menjaga lingkungan. Mereka mengenal tanah secara turun-temurun.
“Ada ibu-ibu yang lahir dan besar di kebun itu. Mereka rawat. Mereka hidup dari sana,” ujarnya lirih.
Marlin menyebut bahwa selama ini pihak desa sudah mencoba mencari jalan tengah. Bahkan ada kelonggaran dari pemerintah desa agar warga tetap bisa mengelola lahan, asal tidak merusak lingkungan.
“Sudah ada pertemuan-pertemuan. Sudah ada data LPRA yang kami serahkan,” katanya.
Tapi tambang emas ini, menurutnya, lain cerita. Tak ada ruang dialog. Tak ada pemberitahuan kepada warga sebelum alat berat mulai masuk.
“Baru beberapa bulan terakhir ini warga mencium aroma kerusakannya,” ucap Marlin.
Warga kini diliputi kegelisahan. Ketakutan yang selama ini membayangi, kini muncul ke permukaan.
“Kita takut. Tapi lebih takut lagi jika nanti terlambat,” katanya.
Marlin menyesalkan kenapa potensi pertanian yang justru menopang hidup 99 persen warga Sinjai tidak diperkuat, malah dialihkan ke eksploitasi tambang.
“Kita bukan anti pembangunan. Tapi jangan sampai yang dibangun justru menghancurkan yang sudah ada,” katanya tegas.
Ia berharap, suara yang ia bawa dari kampung bisa menggugah perhatian pemerintah provinsi.
“Kita ini bukan minta banyak. Kita cuma minta jangan dirusak hidup kami,” kata Marlin.
Ia tahu perjuangan ini tidak mudah. Tapi Marlin berjanji akan terus bersuara.
“Kalau saya tidak bicara, siapa lagi? Seluruh warga teruataman perempuan-perempuan di desa saya harus tetap bisa hidup. Harus tetap bisa bertani. Harus tetap bisa berdiri tegak,” pungkasnya.
Penulis : Admin
Editor : Admin
Sumber Berita: Makassar